Denok masih duduk termenung. Matanya menerawang menatap jauh ke depan.Memikirkan jalan hidup yang akan dilaluinya.
Kertas yang dipegangnya masih kosong. Dia belum dapat mengambil keputusan. Cita-cita apa yang harus ditulisnya. Perkataan gurunya masih bergolak diotaknya.
“ Tulislah cita-citamu setinggi tingginya. Jangan sampai kau mengecewakan orang tuamu.”
Kini Denok bingung. Dia masih ragu untuk menuliskan cita-citanya. Dia masih ingat perkataan ayahnya.
“ Nok, setelah lulus nanti bapak tidak dapat menyekolahkanmu ke sekolah yang lebih tinggi. Bapak tak dapat membiayaimu.”
Air mata Denok mulai menetes. Sebenarnya dia dapat saja menuliskan cita-citanya tanpa harus berfikir bagaimana meraihnya. Tapi hal itu tak dilakukannya. Dia tak mau apa yang telah dicita-citakannya terkubur begitu saja.
Kadang Denok menyesal mengapa tak dilahirkan pada orang tua yang kaya. Kadang dia iri kepada teman-temannya. Tuti, Herawati, Santi, memiliki orangtua yang mampu. Sehingga mereka tak ragu untuk menuliskan cita-citanya. Tuti dengan bangga bercita-cita ingin menjadi guru. Herawati ingin menjadi dokter. Semua temannya memiliki cita-cita yang tinggi.
Denok masih memandangi kertas kosong di tangannya. Kertas biodata yang harus diisinya. Tiba-tiba ayahnya masuk dan memeluknya sambil berkata.
“Nok, kamu jangan sedih lagi. Bapak bertekad akan menyekolahkanmu setinggi-tingginya.”
Denok tersenyum lega. Dengan semangat diraihnya pulpen dan ditulisnya sebuah cita-citanya yaitu WARTAWATI.
Karya: mbahBEJO
0 komentar:
Posting Komentar